ISD DALAM BIDANG PSIKOLOGI
ISD adalah pengetahuan yg menelaah masalah2 sosial, khususnya masalah2 yg diwujudkan oleh masyarakat Indonesia, dengan menggunakan Teori2 (fakta, konsep, teori) yg berasal dari berbagai bidang pengetahuan keahlian dalam lapangan ilmu2 sosial (seperti Geografi Sosial, Sosiologi, Antropologi Sosial, Ilmu Politik, Ekonomi, Psikologi Sosial dan Sejarah) MK.
ISD merupakan suatu usaha yang dapat diharapkan memberikan pengetahuan umum dan pengetahuan dasar tentang konsep2 yg dikembangkan untuk melengkapi gejala2 sosial agar daya tanggap (tanggap nilai), persepsi dan penalaran mahasiswa dalam menghadapi lingkungan sosial dapat ditingkatkan , sehingga kepekaan mahasiswa pada lingkungan sosialnya menjadi lebih besar.
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya.
Akar
awal Psikologi Sosial
Walau psikologi sosial merupakan disiplin
yang telah lama ada ( sejak Plato dan Aristotle), namun secara resmi, disiplin
ini menjadi satu ilmu yang mandiri baru sejak tahun 1908. Pada tahun itu ada
dua buku teks yang terkenal yaitu "Introduction to Social Psychology"
ditulis oleh William McDougall - seorang psikolog - dan "Social Psychology
: An Outline and Source Book , ditulis oleh E.A. Ross - seorang sosiolog. Berdasarkan latar belakang penulisnya
maka dapat dipahami bahwa psikologi sosial bisa di"claim" sebagai bagian dari psikologi, dan bisa juga sebagai
bagian dari sosiologi. Psikologi sosial juga merupakan pokok bahasan dalam
sosiologi karena dalam sosiologi dikenal ada dua perspektif utama, yaitu
perspektif struktural makro yang menekankan kajian struktur sosial, dan
perspektif mikro yang menekankan pada kajian individualistik dan psikologi
sosial dalam menjelaskan variasi perilaku manusia.. Di Amerika disiplin ini
banyak dibina oleh jurusan sosiologi - di American Sociological Association terdapat
satu bagian yang dinamakan "social
psychological section", sedangkan di Indonesia, secara formal disiplin
psikologi sosial di bawah binaan fakultas psikologi, namun dalam prakteknya
tidak sedikit para pakar sosiologi yang juga menguasai disiplin ini sehingga
dalam berbagai tulisannya, cara pandang psikologi sosial ikut mewarnainya.
Kita
sering berpikir bahwa yang namanya dunia psikologi adalah dunia yang berkaitan
dengan persoalan perasaan, motivasi, kepribadian, dan yang sejenisnya. Dan
kalau berpikir tentang sosiologi, secara umum cenderung memikirkan persoalan
kemasyarakatan. Kajian utama psikologi adalah pada persoalan kepribadian,
mental, perilaku, dan dimensi-dimensi lain yang ada dalam diri manusia sebagai
individu. Sosiologi lebih mengabdikan kajiannya pada budaya dan struktur sosial
yang keduanya mempengaruhi interaksi, perilaku, dan kepribadian. Kedua bidang
ilmu tersebut bertemu di daerah yang dinamakan psikologi sosial . Dengan demikian para psikolog berwenang merambah
bidang ini, demikian pula para sosiolog. Namun karena perbedaan latar belakang
maka para psikolog akan menekankan pengaruh situasi sosial terhadap proses
dasar psikologikal - persepsi, kognisi, emosi, dan sejenisnya - sedangkan para
sosiolog akan lebih menekankan pada bagaimana budaya dan struktur sosial
mempengaruhi perilaku dan interaksi para individu dalam konteks sosial, dan
lalu bagaimana pola perilaku dan interaksi tadi mengubah budaya dan struktur
sosial.
Pertanyaan yang paling mendasar yang
senantiasa menjadi kajian dalam psikologi sosial adalah : " Bagaimana kita
dapat menjelaskan pengaruh orang lain terhadap perilaku kita?'". Misalnya
di Prancis, para analis sosial sering mengajukan pertanyaan mengapa pada saat
revolusi Prancis, perilaku orang menjadi cenderung emosional ketimbang
rasional? Demikian juga di Jerman dan Amerika Serikat dilakukan studi tentang
kehadiran orang lain dalam memacu prestasi seseorang . Misalnya ketika seorang
anak belajar seorang diri dan belajar dalam kelompok, bisa menunjukan prestasi
lebih baik dibandingkan ketika mereka belajar sendiri. Gordon Allport (1968)
menjelaskan bahwa seorang boleh disebut sebagai psikolog sosial jika dia "berupaya memahami, menjelaskan, dan
memprediksi bagaimana pikiran, perasaan, dan tindakan individu-individu
dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan tindakan-tindakan orang lain yang
dilihatnya, atau bahkan hanya dibayangkannya"
Teori-teori awal yang dianggap mampu
menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan pada dua kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam
bentuk instink-instink biologis - lalu dikenal dengan penjelasan "nature" - dan (2) perilaku
bukan diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan
mereka - dikenal dengan penjelasan "nurture". Penjelasan "nature" dirumuskan oleh ilmuwan Inggris Charles Darwin
pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua
perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang diperlukan agar bisa
bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog cenderung percaya bahwa
seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada pandangan ini (instinktif).
Namun banyak analis sosial yang tidak
percaya bahwa instink merupakan sumber perilaku sosial. Misalnya William James,
seorang psikolog percaya bahwa walau instink merupakan hal yang mempengaruhi
perilaku sosial, namun penjelasan utama cenderung ke arah kebiasaan - yaitu pola perilaku yang diperoleh melalui pengulangan
sepanjang kehidupan seseorang. Hal ini memunculkan "nurture explanation". Tokoh lain yang juga seorang
psikolog sosial, John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul
berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah
atau diubah oleh lingkungan - "situasi kita" - termasuk tentunya
orang lain.
Berbagai alternatif yang berkembang dari
kedua pendekatan tersebut kemudian memunculkan berbagai perspektif dalam psikologi sosial -
seperangkat asumsi dasar tentang hal paling penting yang bisa dipertimbangkan
sebagai sesuatu yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial. Ada empat
perspektif, yaitu : perilaku (behavioral perspectives) , kognitif (cognitive perspectives), stuktural (structural perspectives), dan interaksionis (interactionist perspectives).
Perspektif perilaku dan kognitif lebih banyak digunakan oleh para psikolog
sosial yang berakar pada psikologi. Mereka sering menawarkan jawaban yang berbeda atas sebuah pertanyaan :
"Seberapa besar perhatian yang seharusnya diberikan oleh para psikolog
sosial pada kegiatan mental dalam upayanya memahami perilaku sosial?".
Perspektif perilaku menekankan, bahwa untuk dapat lebih memahami perilaku
seseorang, seyogianya kita mengabaikan informasi tentang apa yang dipikirkan
oleh seseorang. Lebih baik kita memfokuskan pada perilaku seseorang yang dapat
diuji oleh pengamatan kita sendiri. Dengan mempertimbangkan proses mental
seseorang, kita tidak terbantu memahami perilaku orang tersebut, karena
seringkali proses mental tidak reliabel untuk memprediksi perilaku. Misalnya
tidak semua orang yang berpikiran negatif tentang sesuatu, akan juga
berperilaku negatif. Orang yang bersikap negatif terhadap bangsa A misalnya,
belum tentu dia tidak mau melakukan hubungan dengan bangsa A tersebut. Intinya
pikiran, perasaan, sikap (proses mental) bukan sesuatu yang bisa menjelaskan
perilaku seseorang.
Sebaliknya, perspektif kognitif
menekankan pada pandangan bahwa kita tidak bisa memahami perilaku seseorang
tanpa mempelajari proses mental mereka. Manusia tidak menanggapi lingkungannya
secara otomatis. Perilaku mereka tergantung pada bagaimana mereka berpikir dan
mempersepsi lingkungannya. Jadi untuk memperoleh informasi yang bisa dipercaya
maka proses mental seseorang merupakan hal utama yang bisa menjelaskan perilaku
sosial seseorang.
Perspektif struktural dan interaksionis
lebih sering digunakan oleh para psikolog sosial yang berasal dari disiplin
sosiologi. Pertanyaan yang umumnya diajukan adalah : " Sejauhmana
kegiatan-kegiatan individual membentuk interaksi sosial ?". Perspektif
struktural menekankan bahwa perilaku seseorang dapat dimengerti dengan sangat
baik jika diketahui peran sosialnya. Hal ini terjadi karena perilaku seseorang
merupakan reaksi terhadap harapan orang-orang lain. Seorang mahasiswa rajin
belajar, karena masyarakat mengharapkan agar yang namanya mahasiswa senantiasa
rajin belajar. Seorang ayah rajin bekerja mencari nafkah guna menghidupi
keluarganya. Mengapa ? Karena masyarakat mengharapkan dia berperilaku seperti
itu, jika tidak maka dia tidak pantas disebut sebagai "seorang ayah".
Perspektif interaksionis lebih menekankan bahwa manusia merupakan agen yang
aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri, dan mereka yang membangun
harapan-harapan sosial. Manusia bernegosiasi satu sama lainnya untuk membentuk
interaksi dan harapannya. Untuk lebih jelas, di bawah ini diuraikan satu
persatu keempat prespektif dalam psikologi sosial.
1. Perspektif Perilaku (Behavioral Perspective)
Pendekatan ini awalnya diperkenalkan oleh
John B. Watson (1941, 1919). Pendekatan ini cukup banyak mendapat
perhatian dalam psikologi di antara
tahun 1920-an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya, dia menyarankan
agar pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif bagi pendekatan instinktif
dalam memahami perilaku sosial, tetapi juga merupakan alternatif lain yang
memfokuskan pada pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi. Watson menolak informasi
instinktif semacam itu, yang menurutnya bersifat "mistik",
"mentalistik", dan "subyektif". Dalam psikologi obyektif
maka fokusnya harus pada sesuatu yang "dapat diamati" (observable), yaitu pada "apa yang
dikatakan (sayings) dan apa yang
dilakukan (doings)". Dalam hal
ini pandangan Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya percaya
bahwa proses mental dan juga
perilaku yang teramati berperan dalam menyelaskan perilaku sosial.
Para "behaviorist" memasukan perilaku
ke dalam satu unit yang dinamakan "tanggapan" (responses), dan lingkungan ke dalam unit "rangsangan" (stimuli). Menurut penganut paham
perilaku, satu rangsangan dan tanggapan tertentu bisa berasosiasi satu sama
lainnya, dan menghasilkan satu bentuk hubungan fungsional. Contohnya, sebuah
rangsangan " seorang teman datang ", lalu memunculkan tanggapan
misalnya, "tersen-yum". Jadi seseorang tersenyum, karena ada teman
yang datang kepadanya. Para behavioris tadi percaya bahwa rangsangan dan
tanggapan dapat dihubungkan tanpa mengacu pada pertimbangan mental yang ada
dalam diri seseorang. Jadi tidak terlalu mengejutkan jika para behaviorisme
tersebut dikategorikan sebagai pihak yang menggunakan pendekatan "kotak
hitam (black-box)" . Rangsangan
masuk ke sebuah kotak (box) dan
menghasilkan tanggapan. Mekanisme di dalam kotak hitam tadi - srtuktur internal atau proses mental
yang mengolah rangsangan dan tanggapan - karena tidak dapat dilihat secara
langsung (not directly observable),
bukanlah bidang kajian para behavioris tradisional.
Kemudian, B.F. Skinner (1953,1957,1974)
membantu mengubah fokus behaviorisme melalui percobaan yang dinamakan "operant behavior" dan "reinforcement". Yang dimaksud
dengan "operant condition"
adalah setiap perilaku yang beroperasi dalam suatu lingkungan dengan cara
tertentu, lalu memunculkan akibat atau perubahan dalam lingkungan tersebut.
Misalnya, jika kita tersenyum kepada orang lain yang kita hadapi, lalu secara
umum, akan menghasilkan senyuman yang datangnya dari orang lain tersebut. Dalam
kasus ini, tersenyum kepada orang lain tersebut merupakan "operant behavior". Yang dimaksud
dengan "reinforcement"
adalah proses di mana akibat atau perubahan yang terjadi dalam lingkungan memperkuat perilaku tertentu di masa
datang . Misalnya, jika kapan saja kita selalu tersenyum kepada orang asing
(yang belum kita kenal sebelumnya), dan mereka tersenyum kembali kepada kita,
maka muncul kemungkinan bahwa jika di kemudian hari kita bertemu orang asing
maka kita akan tersenyum. Perlu diketahui, reinforcement atau penguat, bisa
bersifat positif dan negatif. Contoh di atas merupakan penguat positif. Contoh
penguat negatif, misalnya beberapa kali pada saat kita bertemu dengan orang
asing lalu kita tersenyum dan orang asing tersebut diam saja atau bahkan
menunjukan rasa tidak suka, maka dikemudian hari jika kita bertemu orang asing
kembali, kita cenderung tidak tersenyum (diam saja).
Dalam pendekatan perilaku terdapat
teori-teori yang mencoba menjelaskan secara lebih mendalam mengapa fenomena
sosial yang diutarakan dalam pendekatan perilaku bisa terjadi. Beberapa teori
antara lain adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) dan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory).
a. Teori Pembelajaran Sosial.
Di tahun 1941, dua orang psikolog - Neil
Miller dan John Dollard - dalam laporan hasil percobaannya mengatakan bahwa
peniruan (imitation) di antara
manusia tidak disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian
kedua orang tersebut mengindikasikan bahwa kita
belajar (learn) meniru perilaku
orang lain. Artinya peniruan tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja
karena instink. Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan
"social learning " -
"pembelajaran sosial". Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita merasa telah
memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan memperoleh
hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar mengikuti
aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka "para individu
harus dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika
melakukan apa yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak
melakukannya.", demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard.
Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard
menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar meniru atau tidak meniru seseorang
dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen. Dalam percobaannya tersebut, juga
dapat diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan orang-orang yang akan ditirunya.
Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan ditirunya, jika perempuan
tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari (learned), hasil belajar ini kadang
berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya, anak-anak cenderung lebih
suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang sebelumnya memberikan
imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku "baru" melalui
pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat. Kita contoh perilaku orang-orang lain
tertentu, karena kita mendapatkan
imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain tertentu tadi dan juga
dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, di masa lampau.
Dua puluh tahun berikutnya, Albert Bandura
dan Richard Walters (1959, 1963), mengusulkan satu perbaikan atas gagasan
Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan. Bandura dan Walters
menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita
terima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap
perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses
belajar semacam ini disebut "observational
learning" - pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan
Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai
perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model,
misalnya melalui film atau bahkan film karton.
Bandura (1971), kemudian menyarankan
agar teori pembelajaran sosial seyogianya diperbaiki lebih jauh lagi. Dia
mengatakan bahwa teori pembelajaran sosial yang benar-benar melulu menggunakan
pendekatan perilaku dan lalu mengabaikan pertimbangan proses mental, perlu
dipikirkan ulang. Menurut versi Bandura, maka
teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita
dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational
learning, (2) cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap
informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi
lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement)
dan observational opportunity -
kemungkinan bisa diamati oleh orang lain.
b. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)
Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori
pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley
(1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau
(1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan
orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain
hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi
kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial,
teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan
terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal).
Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan
orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi
Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost)
dan keuntungan (profit). Imbalan
merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal
yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan.
Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang
berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan,
persahabatan - hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat
merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan
perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika
merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Berdasarkan keyakinan tersebut Homans
dalam bukunya "Elementary Forms of
Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya
berbunyi :"Semua tindakan yang
dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh
imbalan, makin cenderung orang
tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi ". Proposisi ini secara
eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika
ada imbalannya. Proposisi lain yang
juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi :
"Makin tinggi nilai hasil suatu
perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut
diulanginya kembali". Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran sosial
adalah "distributive justice"
- aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi.
Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi " seseorang dalam hubungan pertukaran
dengan orang lain akan mengharapkan imbalan
yang diterima oleh setiap pihak sebanding
dengan pengorbanan yang telah
dikeluarkannya - makin tingghi pengorbanan, makin tinggi imbalannya - dan keuntungan yang diterima oleh setiap
pihak harus sebanding dengan investasinya - makin tinggi investasi,
makin tinggi keuntungan".
Inti dari teori pembelajaran sosial dan
pertukaran sosial adalah perilaku sosial
seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh
proses mentalistik (black-box). Semua
teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara
perilaku yang teramati dengan lingkungan.
2. Perspektif Kognitif (The Cognitive Perspective)
Kita telah memberikan indikasi bahwa
kebiasaan (habit) merupakan
penjelasan alternatif yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial
seseorang di samping instink (instinct).
Namun beberapa analis sosial percaya bahwa kalau hanya kedua hal tersebut
(kebiasaan dan instink) yang dijadikan dasar, maka dipandang terlampau ekstrem
- karena mengabaikan kegiatan mental manusia.
Seorang psikolog James Baldwin (1897)
menyatakan bahwa paling sedikit ada dua bentuk peniruan, satu didasarkan pada
kebiasaan kita dan yang lainnya didasarkan pada wawasan kita atas diri kita sendiri dan atas orang lain yang
perilakunya kita tiru. Walau dengan konsep yang berbeda seorang sosiolog
Charles Cooley (1902) sepaham dengan pandangan Baldwin. Keduanya memfokuskan
perhatian mereka kepada perilaku sosial yang melibatkan proses mental atau kognitif .
Kemudian banyak para psikolog sosial
menggunakan konsep sikap (attitude) untuk memahami proses mental
atau kognitif tadi. Dua orang sosiolog W.I. Thomas dan Florian Znaniecki
mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi tentang sikap, yang diartikannya
sebagai proses mental individu yang menentukan tanggapan aktual dan potensial
individu dalam dunia sosial". Sikap merupakan predisposisi perilaku.
Beberapa teori yang melandasi perpektif ini antara lain adalah Teori Medan (Field Theory), Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap (Concistency Attitude and Attribution Theory),
dan Teori Kognisi Kontemporer.
a. Teori Medan (Field
Theory)
Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935,1936)
mengkaji perilaku sosial melalui pendekatan konsep "medan"/"field" atau "ruang
kehidupan" - life space. Untuk
memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional para psikolog
memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (instink dan kebiasaan),
bebas - lepas dari pengaruh situasi di mana individu melakukan aktivitas. Namun
Lewin kurang sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya penjelasan tentang
perilaku yang tidak memperhitungkan faktor situasi, tidaklah lengkap. Dia
merasa bahwa semua peristiwa psikologis apakah itu berupa tindakan, pikiran,
impian, harapan, atau apapun, kesemuanya itu merupakan fungsi dari "ruang
kehidupan"- individu dan lingkungan dipandang sebagai sebuah konstelasi
yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya "ruang kehidupan" merupakan
juga merupakan determinan bagi tindakan, impian, harapan, pikiran seseorang.
Lewin memaknakan "ruang kehidupan" sebagai seluruh peristiwa (masa
lampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku dalam satu
situasi tertentu.
Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku
seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan konteks - lingkungan di mana
perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori medan berupaya menguraikan
bagaimana situasi yang ada (field) di
sekeliling individu bepengaruh pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip
dengan konsep "gestalt" dalam psikologi yang memandang bahwa
eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak bisa terlepas satu sama
lainnya. Misalnya, kalau kita melihat
bangunan, kita tidak melihat batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu
persatu. Demikian pula kalau kita mempelajari perilaku individu, kita tidak
bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari konteks di mana individu tersebut
berada.
b. Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap ( Attitude Consistency and Attribution Theory)
Fritz Heider (1946, 1958), seorang
psikolog bangsa Jerman mengatakan bahwa kita cenderung mengorganisasikan sikap
kita, sehingga tidak menimbulkan konflik. Contohnya, jika kita setuju pada hak
seseorang untuk melakukan aborsi, seperti juga orang-orang lain, maka sikap
kita tersebut konsisten atau seimbang (balance).
Namun jika kita setuju aborsi tetapi ternyata teman-teman dekat kita dan juga
orang-orang di sekeliling kita tidak setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi
tidak seimbang (imbalance). Akibatnya
kita merasa tertekan (stress), kurang
nyaman, dan kemudian kita akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan dengan
orang-orang di sekitar kita, misalnya dengan bersikap bahwa kita sekarang tidak
sepenuhnya setuju pada aborsi. Melalui pengubahan sikap tersebut, kita menjadi
lebih nyaman. Intinya sikap kita senantiasa kita sesuaikan dengan sikap orang
lain agar terjadi keseimbangan karena dalam situasi itu, kita menjadi lebih
nyaman.
Heider juga menyatakan bahwa kita
mengorganisir pikiran-pikiran kita
dalam kerangka "sebab dan akibat". Agar supaya bisa meneruskan
kegiatan kita dan mencocokannya dengan
orang-orang di sekitar kita, kita mentafsirkan informasi untuk memutuskan
penyebab perilaku kita dan orang lain. Heider memperkenalkan konsep "causal attribution" - proses
penjelasan tentang penyebab suatu perilaku. Mengapa Tono pindah ke kota lain ?,
Mengapa Ari keluar dari sekolah ?. Kita bisa menjelaskan perilaku sosial dari
Tono dan Ari jika kita mengetahui penyebabnya. Dalam kehidupan sehari-hari,
kita bedakan dua jenis penyebab, yaitu internal
dan eksternal. Penyebab internal
(internal causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan
kualitas pribadi atau personal, dan penyebab external (external causality) terdapat dalam lingkungan atau situasi.
c. Teori Kognitif Kontemporer
Dalam tahun 1980-an, konsep kognisi,
sebagian besarnya mewarnai konsep sikap. Istilah "kognisi" digunakan
untuk menunjukan adanya proses mental dalam diri seseorang sebelum melakukan
tindakan. Teori kognisi kontemporer memandang manusia sebagai agen yang secara
aktif menerima, menggunakan, memanipulasi, dan mengalihkan informasi. Kita
secara aktif berpikir, membuat rencana, memecahkan masalah, dan mengambil
keputusan. Manusia memproses informasi dengan cara tertentu melalui struktur
kognitif yang diberi istilah "schema"
(Markus dan Zajonc, 1985 ; Morgan dan Schwalbe, 1990; Fiske and Taylor, 1991).
Struktur tersebut berperan sebagai kerangka yang dapat menginterpretasikan pengalaman-pengalaman sosial yang kita
miliki. Jadi struktur kognisi bisa membantu kita mencapai keterpaduan dengan
lingkungan, dan membantu kita untuk menyusun realitas sosial. Sistem ingatan
yang kita miliki diasumsikan terdiri atas struktur pengetahuan yang tak
terhitung jumlahnya.
Intinya, teori-teori kognitif memusatkan
pada bagaiamana kita memproses informasi yang datangnya dari lingkungan ke
dalam struktur mental kita Teori-teori kognitif percaya bahwa kita tidak bisa
memahami perilaku sosial tanpa memperoleh informasi tentang proses mental yang
bisa dipercaya, karena informasi tentang hal yang obyektif, lingkungan
eksternal belum mencukupi.
3. Perspektif Struktural
Telah kita catat bahwa telah terjadi
perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam hal menjelaskan perilaku sosial
seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang dapat dikaji
sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif, (2) karena kebiasaan, dan (3) juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua tertarik, dan dengan cara sebaik
mungkin lalu menguraikan hubungan antara masyarakat dengan individu. William
James dan John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi
mereka juga mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok -
yaitu adat-istiadat masyarakat - atau strutur sosial . Para sosiolog yakin
bahwa struktur sosial terdiri atas jalinan interaksi antar manusia dengan cara
yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur sosial dalam satu pola perilaku
yang diturunkan oleh satu generasi ke generasi berikutnya, melalui proses
sosialisasi. Disebabkan oleh struktur sosial, kita mengalami kehidupan sosial
yang telah terpolakan. James menguraikan pentingnya dampak struktur sosial atas
"diri" (self) - perasaan
kita terhadap diri kita sendiri. Masyarakat mempengaruhi diri - self.
Sosiolog lain Robert Park dari
Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat mengorganisasikan,
mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan individu- individu ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita
menjadi tahu siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru,
mahasiswa, laki-laki, perempuan, Islam, Kristen. Konsep kita tentang diri kita
tergantung pada peran yang kita lakukan dalam masyarakat. Beberapa teori yang
melandasi persektif strukturan adalah Teori Peran (Role Theory), Teori Pernyataan - Harapan (Expectation-States Theory), dan Posmodernisme (Postmodernism)
a. Teori Peran (Role
Theory)
Walau Park menjelaskan dampak masyarakat
atas perilaku kita dalam hubungannya dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert
Linton (1936), seorang antropolog, telah mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan
interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan
apa-apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan
peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam
kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran
tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain
sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran
tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah seorang
dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati pasien
yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran sosial
Kemudian, sosiolog yang bernama Glen
Elder (1975) membantu memperluas penggunaan teori peran. Pendekatannya yang
dinamakan “life-course” memaknakan
bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk
mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku
dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan
menjadi murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta
pemilu pada usia delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belah tahun,
mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh
tahun. Di Indonesia berbeda. Usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya
pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh lima
tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke
dalam masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap
masa mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.
b.
Teori Pernyataan Harapan (Expectation-States Theory)
Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Berger
dan rekan-rekannya di Universitas Stanford pada tahun 1972. Jika pada teori
peran lebih mengkaji pada skala makro, yaitu peran yang ditetapkan oleh
masyarakat, maka pada teori ini berfokus pada kelompok kerja yang lebih kecil lagi. Menurut teori ini,
anggota-anggota kelompok membentuk harapan-harapan atas dirinya sendiri dan
diri anggota lain, sesuai dengan tugas-tugas yang relevan dengan kemampuan
mereka, dan harapan-harapan tersebut mempengaruhi gaya interaksi di antara
anggota-anggota kelompok tadi. Sudah tentu atribut yang paling berpengaruh
terhadap munculnya kinerja yang diharapkan adalah yang berkaitan dengan
ketrampilan kerjanya. Anggota-anggota kelompok dituntut memiliki motivasi dan
ketrampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok yang
diharapkan bisa ditampilkan sebaik mungkin.
Bagaimanapun juga, kita sering kekurangan
informasi tentang kemampuan yang berkaitan dengan tugas yang relevan, dan
bahkan ketika kita memiliki informasi, yang muncul adalah bahwa kita juga harus
mendasarkan harapan kita pada atribut pribadi dan kelompok seperti : jenis
kelamin, ras, dan usia. Dalam beberapa masyarakat tertentu, beberapa atribut
pribadi dinilai lebih penting daripada atribut lainnya. Untuk menjadi pemimpin,
jenis kelamin kadang lebih diprioritaskan ketimbang kemampuan. Di Indonesia,
untuk menjadi presiden, ras merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi.
Berger menyebut gejala tersebut sebagai “difusi karakteristik status”;
karakteristik status mempengaruhi harapan kelompok kerja. Status laki-laki
lebih tinggi dibanding perempuan dalam soal menjadi pemimpin, warganegara
pribumi asli lebih diberi tempat menduduki jabatan presiden. Difusi
karakteristik status tersebut ( jenis
kelamin, ras, usia, dan lainnya) dengan demikian, mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap interaksi sosial.
c.
Posmodernisme (Postmodernism)
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan
perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat
kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada
dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan
reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan
bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan
individualitas-nya – kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. (Denzin,
1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991) . Dalam pandangan teori ini upaya
kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat,
menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita
campakkan..
Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul
bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini
mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme
atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai
barang yang bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa
besar yang bisa dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan
juga sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra
komersial yang mampu mengurangi
keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu
dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi oleh seberapa besar kemampuannya
mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “ pilihan kita
sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan
seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat
kita dalam struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja
Indonesia terhadap musik “rap” tidak
lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik
tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik
“rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap”,
dia bukan remaja. Perilaku seseorang
ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya , bukan
oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah
manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan,
dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan
masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini,
struktur sosial – pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat –
sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual.
Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada
kekuatan struktur sosial yang menekannya.
4.
Perspektif Interaksionis (Interactionist Perspective)
Seorang sosiolog yang bernama George
Herbert Mead (1934) yang mengajar psiokologi sosial pada departemen filsafat
Universitas Chicago, mengembangkan teori ini. Mead percaya bahwa keanggotaan
kita dalam suatu kelompok sosial menghasilkan perilaku bersama yang kita kenal
dengan nama budaya. Dalam waktu yang
bersamaan, dia juga mengakui bahwa individu-individu yang memegang posisi
berbeda dalam suatu kelompok, mempunyai peran yang berbeda pula, sehingga
memunculkan perilaku yang juga berbeda. Misalnya, perilaku pemimpin berbeda
dengan pengikutnya. Dalam kasus ini, Mead tampak juga seorang strukturis. Namun
dia juga menentang pandangan bahwa perilaku kita melulu dipengaruhi oleh
lingkungan sosial atau struktur sosial. Sebaliknya Mead percaya bahwa kita
sebagai bagian dari lingkungan sosial tersebut juga telah membantu menciptakan
lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi, dia memberi catatan bahwa walau kita
sadar akan adanya sikap bersama dalam suatu kelompok/masyarakat, namun hal
tersebut tidaklah berarti bahwa kita senantiasa berkompromi dengannya.
Mead juga tidak setuju pada pandangan
yang mengatakan bahwa untuk bisa memahami perilaku sosial, maka yang harus
dikaji adalah hanya aspek eksternal (perilaku yang teramati) saja. Dia
menyarankan agar aspek internal (mental) sama pentingnya dengan aspek eksternal
untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada aspek internal dan eksternal atas
dua atau lebih individu yang berinteraksi, maka dia menyebut aliran perilakunya
dengan nama “social behaviorism”.
Dalam perspektif interaksionis ada beberapa teori yang layak untuk dibahas
yaitu Teori Interaksi Simbolis (Symbolic
Interaction Theory), dan Teori Identitas (Identity Theory).
a.
Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory)
Walau Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa
memahami perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat
khususnya. Justru dia lebih tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara
gerak-isyarat (gesture) tertentu dan
maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam
terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak
yang terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol yang
mempunyai arti penting” ( a significant symbol”). Kata-kata
dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik, bahasa tubuh (body langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang
bermakna.
Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu
berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi
oleh simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain
tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan,
pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan
orang lain, kita menangkap pikiran, perasaan orang lain tersebut. Teori ini
mirip dengan teori pertukaran sosial.
Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar
tanpa gangguan apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing
pihak dimaknakan bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik.
Hal ini mungkin terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi
tersebut berasal dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil
memecahkan perbedaan makna di antara mereka. Namun tidak selamanya interaksi
berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak
signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang
tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan merencanakan cara
tindakan mereka.
Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa
berkembang : orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan
memperbaiki tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan
pihak lain. Sesuai dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan perilakunya
agar cocok dengan perilaku orang lain.
b.
Teori Identitas (Identity Theory)
Teori Indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini
memusatkan perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan struktur sosial yang lebih
besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai dua sisi
dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial
membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan perspektif
struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik
terhadap teori peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas
individu.
Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan
konsep diri/self (dari teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran yang kita
tampilkan dalam berinteraksi dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda dengan
diri orang lain, yang oleh Stryker
dinamakan “identitas”. Jika kita memiliki banyak peran, maka kita memiliki
banyak identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga perilaku pihak yang berinteraksi
dengan kita.
Intinya, teori interaksi simbolis dan identitas mendudukan individu
sebagai pihak yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan membangun
harapan-harapan sosial. Perspektif iteraksionis tidak menyangkal adanya
pengaruh struktur sosial, namun jika hanya struktur sosial saja yang dilihat
untuk menjelaskan perilaku sosial, maka hal tersebut kurang memadai.
RANGKUMAN
Telah kita bahas empat perspektif dalam psikologi sosial. Yang dimaksud
dengan perspektif adalah asumsi-asumsi dasar yang paling banyak sumbangannya
kepada pendekatan psikologi sosial.
Perspektif perilaku menyatakan bahwa perilaku sosial kita paling baik
dijelaskan melalui perilaku yang secara langsung dapat diamati dan lingkungan
yang menyebabkan perilaku kita berubah. Perspektif
kognitif menjelaskan perilaku sosial kita dengan cara memusatkan pada
bagaimana kita menyusun mental (pikiran, perasaan) dan memproses informasi yang
datangnya dari lingkungan . Kedua perspektif tersebut banyak dikemukakan oleh
para psikolog sosial yang berlatar belakang psikologi.
Di samping kedua perspektif di atas, ada dua perspektif lain yang
sebagian besarnya diutarakan oleh para psikolog sosial yang berlatas belakang
sosiologi. Perspektif struktural
memusatkan perhatian pada proses sosialisasi, yaitu proses di mana perilaku
kita dibentuk oleh peran yang beraneka ragam dan selalu berubah, yang dirancang
oleh masyarakat kita. Perspektif
interaksionis memusatkan perhatiannya pada proses interaksi yang
mempengaruhi perilaku sosial kita. Perbedaan utama di antara kedua perspektif
terakhir tadi adalah pada pihak mana yang berpengaruh paling besar terhadap
pembentukan perilaku. Kaum strukturalis cenderung meletakan struktur sosial
(makro) sebagai determinan perilaku sosial individu, sedangkan kaum
interaksionis lebih memandang individu (mikro) merupakan agen yang aktif dalam
membentuk perilakunya sendiri.
Karena banyaknya teori yang dikemukakan untuk menjelaskan perilaku
sosial maka seringkali muncul pertanyaan : “Teori mana yang paling benar ?”
atau “teori mana yang terbaik?” . Hampir seluruh psikolog sosial akan menjawab
bahwa tidak ada teori yang salah atau yang paling baik, atau paling jelek.
Setiap teori mempunyai keterbatasan dalam aplikasinya. Misalnya dalam
mempelajari agresi (salah satu bentuk perilaku sosial), para behavioris bisa
memusatkan pada pengalaman belajar yang mendorong terjadinya perilaku agresif –
pada bagaimana orang tua, guru, dan pihak-pihak lain yang memberi perlakuan
positif pada perilaku agresif. Bagi yang tertarik pada perspektif kognitif maka
obyek kajiannya adalah pada bagaimana seseorang mempersepsi, interpretasi, dan
berpikir tentang perilaku agresif. Seorang psikolog sosial yang ingin
menggunakan teori medan akan mengkaji perilaku agresif dengan cara melihat
hubungan antara karakteristik individu dengan situasi di mana perilaku agresif
tersebut ditampilkan. Para teoritisi pertukaran sosial bisa memusatkan pada adanya imbalan sosial
terhadap individu yang menampilkan perilaku agresif. Jika memakai kacamata
teori peran, perilaku agresif atau tidak agresif ditampilkan oleh seseorang karena
harapan-harapan sosial yang melekat pada posisi sosialnya harus dipenuhi.
Demikianlah, setiap teori bisa digunakan untuk menjadi pendekatan yang
efektif tidak untuk semua aspek perilaku. Teori peran lebih efektif untuk
menjelaskan perilaku X dibanding dengan teori yang berperspektif kognitif,
misalnya.
Buku
Acuan :
Theories of Social
Psychology – Marvin E. Shaw / Philip R. Costanzo, Second Edition, 1985,
McGraw-Hill, Inc.
Thinking Sociologically,
Sheldon Goldenberg, 1987, Wadsworth,
Inc.
Social Psychology, James A.
Wiggins, Beverly B. Wiggins, James Vander Zanden, Fifth Edition, 1994,
McGraw-Hill, Inc.
Sociology, Concepts and Uses
, Jonathan H. Tuner, 1994. McGraw-Hill
Inc.
Social Psychology, Kay
Deaux, Lawrence S. Wrightsman, Fifth Edition, 1988, Wadsworth, Inc.
KESIMPULAN
pada dasarnya psikologi sosial sangat berhubungan dengan ilmu sosial lain nya, dimana psikologi sosial merupakan bagian dari semua cabang ilmu sosial lainnya!
DAFTAR PUSTAKA
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=psikologi%2Bsosial&source=web&cd=6&ved=0CEIQFjAF&url=http%3A%2F%2Fhome.unpar.ac.id%2F~hasan%2FPERSPEKTIF%2520DALAM%2520PSIKOLOGI%2520SOSIAL.doc&ei=VR2oTsejCcjPrQf_iLDzDQ&usg=AFQjCNFjfgllYROEItV-pb7capT3e0D5RA&sig2=Uf1ChdXg-6pMb6RS5CZxkA
http://trescent.wordpress.com/2007/05/06/hubungan-psikologi-sosial-dengan-ilmu-ilmu-sosial-lainnya/
http://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi
http://sulfikar.com/ilmu-sosial-dasar-defenisi-kuliah-i.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar